Kamis, 01 Oktober 2009

FENOMENA: Badai Matahari Datang 2012?


TEMPO Interaktif, Jakarta - Tahun 2012 tiba-tiba menjadi angka menakjubkan, setelah para ilmuwan dan penulis belakangan ini mengungkapkan ramalan bangsa Maya kuno tentang akhir zaman yang jatuh pada 21 Desember 2012, akhir siklus kalender bangsa itu.

Banyak buku kemudian terbit mengenai ramalan ini, termasuk Apocalypse 2012 yang paling terkenal. Buku karya Lawrence E. Joseph, wartawan dan Ketua Dewan Direksi Aerospace Consulting Corporation di New Mexico, Amerika Serikat, ini terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Kiamat 2012: Investigasi Akhir Zaman. Himpunan Mahasiswa Astronomi Institut Teknologi Bandung bahkan menggelar diskusi mengenai topik ini di kampusnya pada pertengahan bulan lalu.

Para penulis menafsirkan ramalan bangsa Maya kuno itu sebagai hari kiamat. Dasar argumentasi mereka adalah kemunculan badai matahari pada tahun tersebut. Badai itu disebabkan oleh flare atau ledakan di atmosfer matahari yang melontarkan partikel atomik yang menyerupai jilatan api dan mengandung medan magnet. Bila sampai ke bumi, pancaran partikel ini dapat mempengaruhi medan magnet bumi dan mengganggu frekuensi radio.

Menurut perhitungan mereka, besar badai itu akan bertambah saat matahari mencapai siklus maksimumnya, yang diperkirakan akan terjadi pada 2012.

Sahihkah argumen itu?

Thomas Djamaluddin, peneliti utama astronomi dan astrofisika di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, menilai pengaitan kiamat pada tahun tersebut dengan badai matahari tidaklah berdasar. Badai itu, kata dia, merupakan peristiwa biasa yang memiliki siklus sebelas tahun. Perulangan terjadi pada 2012-2013 nanti karena ada pergeseran siklus.

"Bergesernya ke semester pertama 2013," kata Dhani Herdiwijaya, ahli matahari dari Institut Teknologi Bandung, Selasa pekan lalu.

Dhani mengutip perkiraan siklus badai matahari yang dilansir National Oceanic and Atmospheric Administration, lembaga pemantau cuaca milik pemerintah Amerika Serikat, pada Mei tahun lalu. Lembaga ini menyatakan siklus itu akan mencapai puncaknya pada Mei 2013.

Bahkan, kata mantan Ketua Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung itu, ada kemungkinan saat puncak siklus nanti aktivitas matahari justru lebih rendah dibanding saat siklus sebelumnya.

Thomas menyatakan badai matahari sebenarnya dapat terjadi kapan saja. Siklus sebelas tahun itu, kata dia, ditandai frekuensi kejadian yang meningkat tajam. Siklus ini diindikasikan dengan munculnya banyak bintik matahari, yang menandakan terjadinya pergolakan di permukaan benda langit itu.

Saat kondisi puncak terjadi, bukan berarti setiap hari terjadi ledakan di matahari. "Mungkin hanya 1 hari 1 kali, kemudian berselang 2-3 hari lagi baru terjadi," kata alumnus Universitas Kyoto, Jepang, itu pada Rabu dua pekan lalu.

Perlu diingat, kata Thomas, bila frekuensi kejadian ini lebih banyak, bukan berarti intensitas ledakannya juga paling tinggi. Sering, kata dia, intensitas ledakan atau badai matahari itu terjadi justru setelah puncak kejadiannya terlampaui.

Siklus badai matahari itu oleh para astronom diberi nomor untuk memudahkan pengenalan. Siklus yang akan terjadi pada 2012-2013, misalnya, diberi nomor 24. Pada saat itu, kata Thomas, belum tentu intensitas ledakan paling kuatnya terjadi pada tahun itu juga, tapi bisa jadi sebelum atau sesudah puncak siklus tersebut.

Thomas mencontohkan siklus 23 puncak badai matahari yang terjadi pada tahun 2000. Ledakan terbesarnya justru terjadi tiga tahun kemudian. Pada rentang Oktober-November 2003 memang terjadi badai matahari yang sangat kuat, yang menyebabkan komunikasi sejumlah satelit terganggu.

Menurut Thomas, badai matahari itu baru menjadi persoalan jika ledakannya mengarah ke bumi. Saat itu, kata dia, bukan hanya satelit yang mengangkasa di orbit bumi yang terganggu. Bumi pun mengalaminya.

Saat ledakan matahari mengarah ke bumi, partikel berenergi tinggi yang ikut terlontar menyusup masuk bumi mengikuti arah medan magnet bumi dari kutub utara dan menyebar memasuki atmosfer. Insiden itu pernah dilaporkan pada saat siklus 22 pada 1989. Kala itu transformator (trafo) pembangkit listrik di Quebec, Kanada, terbakar dan sesaat kemudian listrik yang memasok kebutuhan 6 juta penduduk di sana padam selama 9 jam.

Partikel matahari itu, kata Thomas, menyebabkan induksi pada trafo. Induksi, atau peningkatan muatan listrik tiba-tiba, membakar trafo secara masif sehingga jaringan listrik mati total. Menurut Thomas, sejauh ini, belum ada laporan pengaruh badai itu pada peralatan elektronik selain trafo listrik.

Thomas menjelaskan penyusupan partikel matahari itu paling banter hanya mampu memasuki wilayah bumi yang berada di lintang tinggi, di atas 60 derajat. Pada kondisi ekstrem, trafo listrik di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Rusia bakal terancam langsung oleh induksi akibat partikel itu.

Pengaruh langsung itu bahkan belum pernah dilaporkan terjadi di wilayah lintang menengah. Indonesia, yang berada di jalur ekuator, hanya akan mengalami akibat tidak langsungnya. Kalaupun ada, itu terjadi pada satelit milik Indonesia. "Itu pun kalau operator satelit kita tidak mengantisipasinya," kata Thomas.

Ledakan matahari kini sudah menjadi perhatian dunia. Sejumlah satelit telah diluncurkan khusus untuk mengamati ledakan ini. Informasi ledakan juga disebar secara terbuka di Internet, sehingga operator satelit, misalnya, dapat segera mengendalikan satelitnya pada posisi stand-by, kondisi minimum untuk menekan dampak badai.

Chatief Kunjaya, asisten profesor di Departemen Astronomi Institut Teknologi Bandung, membenarkan bahwa catatan mengenai gangguan akibat badai matahari ini sebatas pada gangguan sistem satelit hingga padamnya listrik. "Selama ini, tidak pernah menimbulkan bahaya langsung di kehidupan manusia," katanya.

Gangguan komunikasi, kata Chatief, ada kemungkinan bakal mendominasi efek badai matahari. "Gangguan yang dulu tidak terlalu kentara itu kini bakal terasa seiring dengan meningkatnya penggunaan telepon yang mengandalkan jaringan satelit," katanya.

Selain siklus sebelas tahun, ada siklus 100 tahunan atau siklus Gleisberg, salah satu siklus panjang dari aktivitas matahari. Siklus ini menandai terjadinya penurunan aktivitas matahari sampai kondisi minimumnya. "Saat siklus minimum itu berlangsung, terjadilah pendinginan global," ujar Dhani.

Dengan minimnya aktivitas matahari, kata Dhani, secara teoretis pancaran energinya yang diterima bumi juga menurun sehingga memicu pendinginan global, dan bumi mengalami "zaman es kecil". Bumi pernah mengalaminya pada awal 1800-an. Saat itu, Sungai Thames di Inggris membeku.

Dhani mengatakan kemungkinan puncak siklus yang rendah ini membawa bumi kembali ke awal abad ke-19, saat aktivitas matahari rendah. "Apakah nanti pada siklus 25 aktivitas matahari akan lebih turun lagi, itu kita belum tahu. Kalau turun, berarti kita masuk ke pendinginan global lagi," katanya.

Kondisi ini akan mendera daerah-daerah yang berada di lintang tinggi. Daerah yang berada di ekuator seperti Indonesia akan terpengaruh akibat ketidakseimbangan temperatur di belahan bumi utara dan selatan. "Walaupun tidak separah mereka," kata Dhani.

(sumber: www.tempointeraktif/Kurniawan, Ahmad Fikri .Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar