KOMPAS.com - Kami tertarik dengan tanggapan Ibu Rani yang menulis komennya di www.kompas.com untuk tulisan “Digital Native vs Digital Immigrant” yang dimuat di kolom ini beberapa waktu lalu.
Di sana Ibu Rani mengatakan: “Anak saya umurnya 20 tahun dan adalah contoh digital native karena dia memang hidup 24 jam online….saya adalah digital immigrant, orang yang mencoba untuk bisa masuk ke dunia digitalnya anak saya… Dan yang menyedihkannya, ketika coba ikut Facebook dan add anak saya (lewat friend request), dia malah ignore bukannya malah confirm.”
Ibu Rani ternyata tidak sendirian ikut-ikutan Facebook. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, Facebook saat ini semakin dibanjiri oleh ibu-ibu. Menurut data yang dirilis oleh Facebook sendiri, pertumbuhan tercepat populasi di situs jejaring sosial ini adalah segmen 35 tahun ke atas. Dan menurut Erick Qualman dalam Socialnomics, segmen yang juga cukup pesat tumbuhnya adalah wanita umur 55-65 tahun.
Ibu Rani juga bukan satu-satunya yang diabaikan oleh anaknya ketika mengirim friend request di Facebook. Karena ibu-ibu lain pun juga banyak yang di-ignore oleh anak-anaknya. Dan fenomena “My Mom is My Friend, But Not My Facebook Friend” ternyata menjadi fenomena global.
Seorang kolumnis di New York Times, Michelle Slatalla, pernah menulis tentang hal ini di harian tersebut dengan judul “‘OMG My Mom Joined Facebook!!’ Di dalam artikel tersebut ditulis bahwa dinamika dunia Facebook adalah refleksi hubungan kita di dunia offline. Pengalaman yang didapatkan oleh seorang ibu di jaman sekarang ketika masuk ke dunia online lewat Facebook dan malah tidak dianggap oleh anaknya mungkin merefleksikan bahwa si ibu itu tidak menjadi bagian dari jejaring sosial anaknya di dunia offline (baca: nyata).
Lori Aratani menulis hal yang kurang lebih sama di Washington Post di dalam artikel berjudul “When Mom or Dad Asks To Be a Facebook Friend.” Di sana ditulis bahwa semakin banyak orang tua jaman sekarang yang ikut Facebook dan ternyata mereka tidak hanya add anaknya saja, tapi juga teman-teman anaknya. Banyak yang confirm friend request dari orang tua mereka. Tapi banyak pula yang ignore karena kurang sreg untuk memasuki orang tua mereka ke dalam komunitas jejaring mereka di dunia online. Bagi mereka itu “seperti mengajak orang tua ikut main bareng dengan teman-teman.”
Di dalam bukunya “Me, MySpace, and I: Parenting the Net Generation”, Larry Rosen mengatakan bahwa fenomena jejaring sosial dianggap oleh orang tua sebagai jendela yang transparan untuk melihat secara dekat gerak-gerik perilaku anak mereka. Makanya mereka berbondong-bondong masuk ke dunia online ini untuk seakan beraksi ibarat intel. Di sisi lain, anak-anak mereka menganggap dunia online adalah milik mereka, dan orang dewasa (terutama kaum digital immigrant) hanyalah penyusup.
Confirm or Ignore?
Internet membuat dunia semakin transparan. Di dalam situs jejaring sosial seperti Facebook, MySpace, Twitter, Plurk, dan lain sebagainya, kita bisa tahu banyak hal termasuk apa yang dilakukan, dirasakan, dikatakan oleh teman kita. Di situs tersebut, berbagai hal yang sifatnya pribadi bisa kita lihat di halaman profil mereka.
Ada yang sengaja membuka profilnya untuk umum. Ada juga yang membuka profilnya untuk dilihat oleh orang-orang yang telah ‘disetujui’ dan ‘dipastikan’ (confirmed) untuk jadi temannya. Lewat sistem seperti ini kita tidak perlu ragu menaruh data pribadi tentang diri kita. Di Facebook, contohnya, kita bisa buka-bukaan, tampil apa adanya dan merasa nyaman karena mereka yang kita konfirm adalah orang-orang yang ingin kita bawa masuk ke dunia komunitas kita.
Steve Jones, seorang professor ilmu komunikasi di Chicago, mengatakan bahwa selama ini ada pemikiran yang salah. Di dunia online terlihat betul bahwa orang-orang cenderung menjauhkan apa-apa yang sifatnya pribadi bukan ke mereka yang tak dikenal, tapi justru kepada orang yang mereka kenal dekat. Artinya mereka tidak peduli apakah yang mereka share di dunia online itu dilihat oleh orang-orang umum. Tapi mereka sangat peduli ketika hal-hal yang sifatnya private justru dilihat oleh orang yang mereka kenal dekat.
Apa yang dibilang oleh Steve Jones mungkin ada benarnya. Situs jejaring sosial yang bermunculan sampai sekarang yang pasti telah membuat kata "teman" jadi lebih blur. Di dunia online seperti ini, orang asing (strangers) kita anggap teman, sedangkan dengan teman yang notabenenya adalah teman kita sebenarnya atau orang yang kita kenal dekat, justru kita malah berinteraksi dengan canggung.
Pertanyaan confirm or ignore yang dilematis ini tidak hanya dirasakan oleh anak-anak ketika mendapat friend request dari para orang tua di rumah. Di kantor pun fenomena yang sama juga dirasakan oleh para karyawan ketika ingin ‘berteman’ dengan boss-nya. Jared Sandberg menulis hal ini di artikel berjudul “OMG -- My Boss Wants to 'Friend' Me On My Online Profile” yang dimuat di harian Wall Street Journal.
Seperti yang ditulis di sana, dengan adanya Facebook, hubungan yang hirarkis antara atasan dan bawahan di dunia offline, mendadak terlihat horizontal di dunia online. Dan pada akhirnya sisi pribadi sesungguhnya dari boss dan karyawan jadi terlihat betul. Meskipun demikian banyak karyawan yang tidak rela untuk berteman dengan boss-nya di Facebook, karena itu tandanya ia harus mengorbankan segala bentuk hal yang sifatnya personal. Begitu juga sebaliknya dengan si boss ketika di add sebagai teman di Facebook oleh anak buahnya.
Confirming the Community
Satu yang dapat dijadikan alasan kenapa fenomena yang diceritakan di atas terjadi adalah karena pada dasarnya karakter si ibu tidak relevan dengan tujuan, identitas, dan nilai-nilai yang miliki oleh komunitasnya si anak. Meskipun sama-sama ‘on’ di dunia Facebook, bukan berarti para orang tua bisa ‘in’ ke dunia komunitas jejaring sosial anaknya. Karena untuk masuk ke sana, diperlukan karakter yang sejalan dengan tujuan, identitas, dan nilai-nilai yang dijunjung tunggi oleh komunitas anaknya.
Dulu di era legacy, aktivitas targeting the segment menjadi langkah strategi yang menentukan gerak-gerik arah pemasaran suatu perusahaan. Di sana konsumen yang menjadi target pasar dieksploitasi oleh pemasar lewat 4P-nya (product, price, place, and promotion). Dan itu semua dilakukan tanpa peduli, suka-tidak suka, setuju-tidak setuju, selama konsumen menjadi target market sebuah perusahaan, konsumen akan menerima bentuk eksploitasi tersebut.
Di era New Wave ini, praktek yang demikian menjadi tidak lagi relevan. Sejalan dengan apa yang dibahas kemarin, kita tidak lagi berbicara tentang targeting the segment namun confirming the community. Karena di era pemasaran seperti ini, orientasi pemasaran berbasiskan komunitas konsumen yang saling kenal bukan lagi segmen konsumen yang tidak kenal satu sama lain. Praktek yang dilakukan dalam rangka konfirmasi terhadap (dan oleh) komunitas ini sendiri bernuansakan horisontal, karena pada dasarnya langkah ini dijalankan dua arah.
Bukan saja perusahaan yang mengkonfirm sebuah komunitas karena kemiripannya dengan karakter merek perusahaan, namun juga si komunitas sendiri harus mengkonfirm bahwa perusahaan yang ingin masuk ke dalam komunitas tersebut adalah ‘teman’ yang baik.
Hal yang terpenting yang harus dilakukan oleh pemasar dalam hal ini adalah mencari relevansi antara komunitas dan perusahaan. Percuma saja kalau sebuah komunitas jumlah anggotanya banyak, pertumbuhan jumlah anggotanya juga terus meningkat. Namun, ternyata komunitas tersebut tidak punya relevansi yang sama dengan kita alias tidak punya identitas dan nilai-nilai yang sama.(Hermawan Kartajaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar